Teks ini adalah homili Rm. Purwohadiwardoyo, MSF waktu kaul kekal kami berlima: Sr Aufrida, Sr Hermana, Sr Oktaviani, Sr Valentina dan Sr Hedwig (saya); di kapel Maria Bintang Samudra, Yogyakarta, 1 November 2003.
Para rekan imam, para bruder, para suster terutama yang akan mengikrarkan kaul kekal, bapak-ibu dan saudara-saudara yang terkasih,
Para suster yang akan mengikrarkan kaul kekal sempat melaksanakan persiapan di sini dengan triduum. Salah satu pesan yang kami sampaikan pada para suster itu adalah supaya siap mengambil tanggung jawab dalam hidup tarekat. Seorang yang sedang berkaul sementara, adalah orang-orang yang masih sangat muda tidak hanya dalam usia, tapi juga dalam hidup religius. Maka para suster-bruder yang sedang berkaul sementara tidak perlu menjadi pemimpin karena belum siap. Dan karena belum memimpin tidak perlu memikul tanggung jawab yang berat. Tapi seorang yang berkaul kekal ia menjadi anggota paling potensial dalam tarekat. Tiap religius yg berkaul kekal harus siap terlibat penuh dalam tarekat dan kalau perlu memimpin tarekat. Tapi harus kita ingat bahwa pimpinan dalam hidup religius dan dalam hidup gereja bukanlah orang yang berkuasa apalagi main kuasa. Melainkan seorang yang siap melayani dan berkorban demi kepemimpinan itu. Dalam hal ini para suster CB mempunyai contoh yang paling jelas dalam diri St. Carolus Borromeus yang pestanya sebentar lagi kita rayakan.
Apa yang beliau lakukan sebelum ia melasanakan tugas sebagai uskup agung di Milano, keuskupan agung yang sangat besar itu. Walaupun ia sudah seorang doktor di bidang hukum, baik hukum sipil maupun hukum gereja ia menggunakan waktu berlama-lama untuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas sebagai uskup agung. Ia kembali membaca Kitab Suci, mempelajari Kitab Suci sebagai landasan hidup kristiani. Ia membaca sejarah bapa-bapa gereja, membaca sejarah gereja. Ia membaca kembali semua keputusan-keputusan gereja selama berabad-abad sebelumnya dan terakhir ia mempelajari keputusan-keputusan konsili Trente yang baru saja selesai waktu itu. Dan ia mengawali karya sebagai uskup agung dengan semboyan humilitas artinya kerendahan hati. Dengan kata lain ada dua hal penting kalau kita masuk dalam kalangan pemimpin.
Seorang religius yg berkaul kekal masuk dalam kalangan pemimpin dalam tarekat, entah dalam bentuk apapun dan dalam tingkat manapun. Syarat pertama adalah pembekalan diri untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan. Kita tidak boleh meniru banyak orang di negara kita akhir-akhir ini, yang melihat kepemimpinan sebagai sumber kekuasaan dan kekuasaan sebagai sumber kekayaan. Kepemimpinan dalam hidup religius, kepemimpinan dalam hidup gereja mempunyai semangat dan warna yang lain sama sekali. Seorang pemimpin dalam gereja dan dalam hidup religius adalah orang yg pertama-tama bersedia memikul tanggung jawab, menjadi pelayan bagi yang dipimpin, dan bukan sumber kekayaan apalagi sumber keuangan. Jadi syarat pertama adalah pembekalan diri dan pembekalan diri ini tdk pernah selesai karena setiap tugas kepemimpinan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang selalu baru, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan selalu ada tantangan baru dengan bekal yang sudah ada. Kita selalu akan merasa kurang bekal dan itu justru pemimpin yang baik. Pemimpin yang sudah merasa siap segalanya dan tidak perlu belajar apa-apa lagi adalah seorang pemimpin yang merasa tahu tetapi tidak tahu. Orang yang sok rumongso. Pembekalan yang terus menerus. Kemudian yang kedua adalah humilitas, semboyan uskup agung Milan itu. Kerendahan hati. Semakin banyak orang mempunyai bekal, harus juga semakin rendah hati, baru ia menjadi pemimpin yang baik. Ibarat padi yang semakin bernas, semakin merundukkan diri. Padi yg kosong akan tegak berdiri, seolah-olah paling hebat tapi sebetulnya tidak punya apa-apa. Seorang pemimpin yg sejati adalah pemimpin yang rendah hati walaupun mempunyai segudang pengalaman dan pengetahuan untuk memimpin.
Kemudian kita lihat diri St. Carolus Boromeus, setelah ia betul-betul melaksanakan tugas sebagai pemimpin di keuskupan raksasa seperti itu. Keuskupan agung Milan itu keuskupan raksasa, keuskupan agung semarang bukan apa-apanya dibandingkan dengan keuskupan agung Milan. Keuskupan Milan mempunyai umat sekitar 600.000, imamnya lebih dari 4000, religiusnya lebih dari 3000. Dalam satu keuskupan, beliau membawahi beberapa uskup. Dan apa yang beliau lakukan? Yang pertama ialah konsistensi. Dia adalah seorang reformator, seorang tokoh reformasi. Dengan senjata konsili Trente yang baru saja selesai, ia dengan penuh semangat ingin memperbaharui gereja. Dan seluruh lapisan gereja di keuskupannya diajak untuk menjadi baru. Ia mulai dengan yang paling strategis, imam-imam terutama imam-imam projo yang waktu itu sangat kurang pendidikannya, disiapkan dengan baik. Dan pada waktu itulah untuk pertama kali dalam sejarah didirikan tempat pendidikan calon imam yang namanya seminari itu. Carolus Boromeuslah yang pertama kali mendirikan seminari-seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi. Sebelumnya imam-imam itu disiapkan ala kadarnya. Tidak ada pendidikan yang khusus, maka itulah yang strategis yang beliau buat, harus didirikan di banyak tempat di keuskupannya seminari-seminari kecil, seminari-seminari menengah dan seminari-seminari tinggi.
Lapisan kedua: para religius. Ia mengajak semua religius untuk memperbaharui diri. Sayang waktu itu ada religius yg memang sudah kebangeten cara hidupnya. Religius yang mengaku diri miskin, nama religius itu religius miskin tetapi justru paling kaya. Mereka berdagang sutera. Religius berdagang sutera, hebat sekali toh. Dan karena kaya raya, tiap malam mengundang wanita-wanita cantik untuk pesta dan dansa dengan para biarawan-biarawan itu. Carolus Boromeus tidak tahan melihat hal seperti itu. Maka ia memerintahkan supaya tarekat itu bertobat. Dan karena tidak bertobat dibubarkan, betul dibubarkan karena tidak mau bertobat. Dan karena tidak terima dibubarkan, berusaha membunuh Carolus Boromeus. Beliau sampai terluka, untung tidak meninggal. Konsisten dengan tugas pembaharuan.
Lapisan ketiga adalah kaum intelektual awam. Beliau mendirikan tempat-tempat asrama utk mahasiswa-mahasiswi awam supaya disamping kuliah mereka mendapat pendidikan yang baik, tidak lontang-lantung di tempat kost yang tidak karuan melainkan dalam kolese-kolese, dimana mahasiswa-mahasiswi mendapat pembinaan kepribadian yang baik disamping studi di tempat kuliah. Lapisan dibawahnya lagi, mereka yang menderita, mereka yang miskin, mereka yang terlantar, para janda miskin, pemudi-pemudi yang hamil ditinggal cowoknya, janda-janda yang ditinggal suami, orang-orang gila, para pengemis dan gelandangan ditampung dalam rumah-rumah yang beliau dirikan. Dan untuk itu beliau mengorbankan penghasilan beliau sendiri sebagai seorang uskup agung maupun barang-barang gerejani yang dianggap tidak mutlak dijual untuk bisa mendirikan tempat-tempat penampungan orang-orang yang menderita. Dengan kata lain seorang reformator yang mempebaharui seluruh gereja dan untuk itu beliau tidak hanya rajin menemui umat, biarawan/wati dan iman, tetapi juga bermati raga, mau menderita supaya pembaharuan itu berhasil.
Mengapa siang ini saya mengajak berpikir mengenai pembaharuan? Kita tahu Sr Louisie, Sr Melanie sudah dipercaya menjadi pemimpin tarekat. Lima puluh tahun yang lalu siapa mikir wong Jowo bisa mempimpin sebuah tarekat internasional. Tahun depan kita akan merayakan 100 tahun orang Jawa pertama dibaptis di Sendang Sono. Jadi umur kekatholikan di Jawa ini baru sebentar, baru 100 tahun, dibandingkan 20 abad itu bukan apa-apa. Tetapi beberapa orang Indonesia sudah dipercaya memimpin tarekat internasional. Pesan apa yg mesti kita tarik dari situ? Sudah waktunya gereja di Asia termasuk di Indonesia mau mengambil tanggung jawab kepemimpinan dan tidak mengelak hanya karena merasa terlalu muda. Tarekat di Eropa kebanyakan tidak punya calon lagi. Mengapa itu? Karena pemimpin di gereja Eropa terlambat melaksanakan reformasi. Maka gereja Indonesia tidak punya pilihan lagi kalau tidak mau mengalami kesalahan yang sama. Yaitu reformasi terus menerus.
Gereja Indonesia, tarekat kita masing-masing harus terus menerus memperbaharui diri, jangan sampai terlambat. Sebentar saja terlambat, kita tidak punya umat lagi, kita tidak punya calon religius lagi, kita tidak punya calon imam lagi. Maka jangan sampai kita terlambat dan untuk itu ada dua yang tadi sudah saya jelaskan. Pertama siap memimpin, memimpin dalam arti bertanggung jawab mau menerima beban, mau berkorban dan bukan untuk main kuasa apalagi untuk memperkaya diri. Dan yang kedua adalah reformasi secara konsisten, secara berani tidak terikat sepenuhnya pada masa lalu. Masa lalu yang baik dan tetap bisa dipertahankan, kita pertahankan; tetapi yang tidak bisa dipertahankan harus kita tinggalkan dengan rela. Dan berani mencari jalan-jalan baru dengan konsisten, dengan strategis. Ini kiranya yang dapat saya sampaikan untuk kelima pestawati dan para suster semua yang sudah berkaul kekal. Tentu saja tidak bermaksud menakut-nakuti yang akan kaul kekal sebentar lagi, tetapi saya ingin realistis. Kita butuh pemimpin-pemimpin dan itu hanya bisa diharapkan dari mereka yang sudah berkaul kekal. Amin.