indahnya berserah


80 Komentar

CARA TRADITIONAL MENGHILANGKAN BEKAS CACAR DI WAJAH

Mentimun1Aku tergerak untuk menulis tentang cara traditional menghilangkan bekas cacar air di wajah, karena kulihat tulisanku yang berjudul: “Usia sudah hampir kepala 4 masih terkena cacar air” hampir setiap hari ada pengunjung blog yang membacanya. Semoga tulisan ini bisa membantu teman-teman yang saat ini sedang menderita cacar air.

Hampir setahun yang lalu aku menderita sakit cacar air. Tulisanku kali ini tentang pengalaman bagaimana cara perawatan terbaik sesudah terkena cacar air. Tentu banyak dari kita yang tidak menginginkan bekas hitam cacar air melekat di wajah. Sebenarnya hal ini tidaklah penting bagiku, aku tidak terlalu merisaukan bekas ini, tetapi kalau bisa diusahakan dengan cara sederhana, mengapa tidak kuusahakan? Selama diisolasi di kamar karena penyakit ini, aku mempunyai banyak kesempatan untuk mencari informasi tentang cacar air via internet. Salah satunya adalah cara menghilangkan bekas cacar air di wajah. Menarik sekali, karena ternyata caranya sederhana dan murah.

Selama hampir 1 bulan aku menderita cacar air, obat yang diberikan dari dokter hanyalah paracetamol. Berdasarkan informasi yang kuperoleh dari internet, aku berusaha melakukan yang terbaik dalam proses penyembuhan dari penyakit ini. Berusaha makan, minum dan istirahat cukup untuk menjaga kondisi fisikku. Menjaga kebersihan juga obat yang baik untuk penyakit ini. Meski ada pendapat yang mengatakan bahwa selama menderita cacar air dilarang mandi, tetapi menurut pengalamanku setiap hari mandi dengan hati-hati dengan menggunakan sabun antiseptik dan menggunakan bedak menthol untuk mengurangi rasa gatal sangatlah membantu untuk mempercepat proses penyembuhan. Usahakan agar benjolan tidak pecah selama mandi. Setiap hari mengganti baju, sprei dan sarung bantal. Segatal apa pun berusahalah untuk tidak menggaruk benjolan sehingga tidak menimbulkan luka. Biarkan benjolan itu mengering dan mengelupas dengan sendirinya. Memang, setelah itu tetap akan timbul bekas, tetapi bekas ini akan lebih mudah hilang jika dibandingkan dengan luka yang lebih dalam karena bekas garukan.

Dari informasi yang kuperoleh, ada beberapa cara sederhana untuk menghilangkan bekas cacar air ini. Salah satunya, yang bisa dengan mudah kuperoleh di Belanda sini dan harganya tidak mahal adalah mentimun. Mentimun mengandung vitamin C dan potasium yang baik untuk menangkal radikal bebas, tetapi juga memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menyegarkan. Joel Schlessinger, MD, ahli kulit dari Omaha, Nebraska, menyimpulkan bahwa mentimun juga memiliki kandungan silika yang dapat meningkatkan produksi kolagen dan mencegah munculnya keriput. Tidak heran, banyak produk yang menggunakan mentimun sebagai bagian penting dalam perawatan kulit baik untuk mengencangkan, melembabkan kulit, mengatasi jerawat, dan bahkan untuk menghilangkan bekas luka pada kulit. (dari: http://www.deherba.com/7-cara-alami-terbaik-untuk-menghilangkan-bekas-luka.html).

Setelah kira-kira 2 minggu benjolan-benjolan di wajah, kepala dan badanku mulai mengering. Waktu itu aku tidak diperbolehkan keluar kamar selama 1 bulan karena takut kalau penyakitku ini akan menular ke suster yang lain. Maka untuk mengisi waktu luangku, kucoba untuk menggunakan mentimun ini. Caranya adalah haluskan mentimun, bisa dengan blender atau diparut. Lalu peras dan gunakan airnya untuk masker, atau bisa juga timun yang sudah halus itu dioleskan pada muka beberapa saat sampai mengering, setelah itu basuh muka dengan air bersih. Kadang kalau baru malas memarut, aku hanya memotong tipis dan menempelkannya ke muka khususnya ke bekas cacar yang ada. Hal ini kulakukan 2 kali sehari: siang dan malam sebelum istirahat. Selama kira-kira 1 bulan aku melakukan pengobatan traditional ini.

Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Bekas cacar air itu tidak nampak di wajah. Beberapa teman tidak percaya bahwa belum ada setahun yang lalu aku menderita cacar air, karena bekas cacar itu sudah tidak terlihat lagi di wajahku. Bagi teman-teman yang belum membaca sharingku sebelumnya tentang penyakit cacar ini, silahkan buka: USIA SUDAH HAMPIR KEPALA 4 MASIH TERKENA CACAR AIR. Semoga tulisanku ini membantu teman-teman yang saat ini sedang menderita penyakit cacar air ini. Selamat mencoba, semoga Tuhan memberkati dan memberi kesembuhan!

Iklan


Tinggalkan komentar

KENANGAN KOTBAH KAUL KEKAL 1 NOV 2003

Foto ketika kami berserah diri kepada Tuhan untuk seumur hidup…

Para rekan imam, para bruder, para suster terutama yang akan mengikrarkan kaul kekal, bapak-ibu dan saudara-saudara yang terkasih,

Para suster yang akan mengikrarkan kaul kekal sempat melaksanakan persiapan di sini dengan triduum. Salah satu pesan yang kami sampaikan pada para suster itu adalah supaya siap mengambil tanggung jawab dalam hidup tarekat. Seorang yang sedang berkaul sementara adalah orang-orang yang masih sangat muda tidak hanya dalam usia, tapi juga dalam hidup religius. Maka para suster-bruder yang sedang berkaul sementara tidak perlu menjadi pemimpin karena belum siap. Dan karena belum memimpin tidak perlu memikul tanggung jawab yang berat. Tapi seorang yang berkaul kekal ia menjadi anggota paling potensial dalam tarekat. Tiap religius yg berkaul kekal harus siap terlibat penuh dalam tarekat dan kalau perlu memimpin tarekat. Tapi harus kita ingat bahwa pimpinan dalam hidup religius dan dalam hidup gereja bukanlah orang yang berkuasa apalagi main kuasa. Melainkan seorang yang siap melayani dan berkorban demi kepemimpinan itu.

Dalam hal ini para suster CB mempunyai contoh yang paling jelas dalam diri St. Carolus Borromeus yang pestanya sebentar lagi kita rayakan. Apa yang beliau lakukan sebelum ia melasanakan tugas sebagai uskup agung di Milano, keuskupan agung yang sangat besar itu. Walaupun ia sudah seorang doktor di bidang hukum, baik hukum sipil maupun hukum gereja ia menggunakan waktu berlama-lama untuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas sebagai uskup agung. Ia kembali membaca Kitab Suci, mempelajari Kitab Suci sebagai landasan hidup kristiani. Ia membaca sejarah bapa-bapa gereja, membaca sejarah gereja. Ia membaca kembali semua keputusan-keputusan gereja selama berabad-abad sebelumnya dan terakhir ia mempelajari keputusan-keputusan konsili Trente yang baru saja selesai waktu itu. Dan ia mengawali karya sebagai uskup agung dengan semboyan humilitas artinya kerendahan hati. Dengan kata lain ada dua hal penting kalau kita masuk dalam kalangan pemimpin.

Seorang religius yg berkaul kekal masuk dalam kalangan pemimpin dalam tarekat, entah dalam bentuk apapun dan dalam tingkat manapun. Syarat pertama adalah pembekalan diri untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan. Kita tidak boleh meniru banyak orang di negara kita akhir-akhir ini, yang melihat kepemimpinan sebagai sumber kekuasaan dan kekuasaan sebagai sumber kekayaan. Kepemimpinan dalam hidup religius, kepemimpinan dalam hidup gereja mempunyai semangat dan warna yang lain sama sekali. Seorang pemimpin dalam gereja dan dalam hidup religius adalah orang yg pertama-tama bersedia memikul tanggung jawab, menjadi pelayan bagi yang dipimpin, dan bukan sumber kekayaan apalagi sumber keuangan. Jadi syarat pertama adalah pembekalan diri dan pembekalan diri ini tdk pernah selesai karena setiap tugas kepemimpinan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang selalu baru, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan selalu ada tantangan baru dengan bekal yang sudah ada. Kita selalu akan merasa kurang bekal dan itu justru pemimpin yang baik. Pemimpin yang sudah merasa siap segalanya dan tidak perlu belajar apa-apa lagi adalah seorang pemimpin yang merasa tahu tetapi tidak tahu. Orang yang sok rumongso. Pembekalan yang terus menerus.

Kemudian yang kedua adalah humilitas, semboyan uskup agung Milan itu kerendahan hati. Semakin banyak orang mempunyai bekal, harus juga semakin rendah hati, baru ia menjadi pemimpin yang baik. Ibarat padi yang semakin bernas, semakin merundukkan diri. Padi yg kosong akan tegak berdiri, seolah-olah paling hebat tapi sebetulnya tidak punya apa-apa. Seorang pemimpin yg sejati adalah pemimpin yang rendah hati walaupun mempunyai segudang pengalaman dan pengetahuan untuk memimpin. Kemudian kita lihat diri St. Carolus Boromeus, setelah ia betul-betul melaksanakan tugas sebagai pemimpin di keuskupan raksasa seperti itu. Keuskupan agung Milan itu keuskupan raksasa, keuskupan agung semarang bukan apa-apanya dibandingkan dengan keuskupan agung Milan. Keuskupan Milan mempunyai umat sekitar 600.000, imamnya lebih dari 4000, religiusnya lebih dari 3000. Dalam satu keuskupan, beliau membawahi beberapa uskup.

Dan apa yang beliau lakukan? Yang pertama ialah konsistensi. Dia adalah seorang reformator, seorang tokoh reformasi. Dengan senjata konsili Trente yang baru saja selesai, ia dengan penuh semangat ingin memperbaharui gereja. Dan seluruh lapisan gereja di keuskupannya diajak untuk menjadi baru. Ia mulai dengan yang paling strategis, imam-imam terutama imam-imam projo yang waktu itu sangat kurang pendidikannya, disiapkan dengan baik. Dan pada waktu itulah untuk pertama kali dalam sejarah didirikan tempat pendidikan calon imam yang namanya seminari itu. Carolus Boromeuslah yang pertama kali mendirikan seminari-seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi. Sebelumnya imam-imam itu disiapkan ala kadarnya. Tidak ada pendidikan yang khusus, maka itulah yang strategis yang beliau buat, harus didirikan di banyak tempat di keuskupannya seminari-seminari kecil, seminari-seminari menengah dan seminari-seminari tinggi.

Lapisan kedua: para religius. Ia mengajak semua religius untuk memperbaharui diri. Sayang waktu itu ada religius yg memang sudah kebangeten cara hidupnya. Religius yang mengaku diri miskin, nama religius itu religius miskin tetapi justru paling kaya. Mereka berdagang sutera. Religius berdagang sutera, hebat sekali toh. Dan karena kaya raya, tiap malam mengundang wanita-wanita cantik untuk pesta dan dansa dengan para biarawan-biarawan itu. Carolus Boromeus tidak tahan melihat hal seperti itu. Maka ia memerintahkan supaya tarekat itu bertobat. Dan karena tidak bertobat dibubarkan, betul dibubarkan karena tidak mau bertobat. Dan karena tidak terima dibubarkan, berusaha membunuh Carolus Boromeus. Beliau sampai terluka, untung tidak meninggal. Konsisten dengan tugas pembaharuan.

Lapisan ketiga adalah kaum intelektual awam. Beliau mendirikan tempat-tempat asrama utk mahasiswa-mahasiswi awam supaya disamping kuliah mereka mendapat pendidikan yang baik, tidak lontang-lantung di tempat kost yang tidak karuan melainkan dalam kolese-kolese, dimana mahasiswa-mahasiswi mendapat pembinaan kepribadian yang baik disamping studi di tempat kuliah. Lapisan dibawahnya lagi, mereka yang menderita, mereka yang miskin, mereka yang terlantar, para janda miskin, pemudi-pemudi yang hamil ditinggal cowoknya, janda-janda yang ditinggal suami, orang-orang gila, para pengemis dan gelandangan ditampung dalam rumah-rumah yang beliau dirikan. Dan untuk itu beliau mengorbankan penghasilan beliau sendiri sebagai seorang uskup agung maupun barang-barang gerejani yang dianggap tidak mutlak dijual untuk bisa mendirikan tempat-tempat penampungan orang-orang yang menderita. Dengan kata lain seorang reformator yang mempebaharui seluruh gereja dan untuk itu beliau tidak hanya rajin menemui umat, biarawan/wati dan iman, tetapi juga bermati raga, mau menderita supaya pembaharuan itu berhasil.

Mengapa siang ini saya mengajak berpikir mengenai pembaharuan? Kita tahu Sr Louisie dan Sr Melanie sudah dipercaya menjadi pemimpin tarekat. Lima puluh tahun yang lalu siapa mikir wong Jowo bisa mempimpin sebuah tarekat internasional. Tahun depan kita akan merayakan 100 tahun orang Jawa pertama dibaptis di Sendang Sono. Jadi umur kekatholikan di Jawa ini baru sebentar, baru 100 tahun, dibandingkan 20 abad itu bukan apa-apa. Tetapi beberapa orang Indonesia sudah dipercaya memimpin tarekat internasional. Pesan apa yg mesti kita tarik dari situ? Sudah waktunya gereja di Asia termasuk di Indonesia mau mengambil tanggung jawab kepemimpinan dan tidak mengelak hanya karena merasa terlalu muda. Tarekat di Eropa kebanyakan tidak punya calon lagi. Mengapa itu? Karena pemimpin di gereja Eropa terlambat melaksanakan reformasi. Maka gereja Indonesia tidak punya pilihan lagi kalau tidak mau mengalami kesalahan yang sama. Yaitu reformasi terus menerus.

Gereja Indonesia, tarekat kita masing-masing harus terus menerus memperbaharui diri, jangan sampai terlambat. Sebentar saja terlambat, kita tidak punya umat lagi, kita tidak punya calon religius lagi, kita tidak punya calon imam lagi. Maka jangan sampai kita terlambat dan untuk itu ada dua yang tadi sudah saya jelaskan. Pertama siap memimpin, memimpin dalam arti bertanggung jawab mau menerima beban, mau berkorban dan bukan untuk main kuasa apalagi untuk memperkaya diri. Dan yang kedua adalah reformasi secara konsisten, secara berani tidak terikat sepenuhnya pada masa lalu. Masa lalu yang baik dan tetap bisa dipertahankan, kita pertahankan; tetapi yang tidak bisa dipertahankan harus kita tinggalkan dengan rela. Dan berani mencari jalan-jalan baru dengan konsisten, dengan strategis. Ini kiranya yang dapat saya sampaikan untuk kelima pestawati dan para suster semua yang sudah berkaul kekal. Tentu saja tidak bermaksud menakut-nakuti yang akan kaul kekal sebentar lagi, tetapi saya ingin realistis. Kita butuh pemimpin-pemimpin dan itu hanya bisa diharapkan dari mereka yang sudah berkaul kekal. Amin.

Foto kami seangkatan, berlima mulai dari Profesi pertama sampai sekarang…


Tinggalkan komentar

Kenangan Homili Kaul Kekal 1 Nov’ 2003

Teks ini adalah homili Rm. Purwohadiwardoyo, MSF waktu kaul kekal kami berlima: Sr Aufrida, Sr Hermana, Sr Oktaviani, Sr Valentina dan Sr Hedwig (saya); di kapel Maria Bintang Samudra, Yogyakarta, 1 November 2003.

Para rekan imam, para bruder, para suster terutama yang akan mengikrarkan kaul kekal, bapak-ibu dan saudara-saudara yang terkasih,

Para suster yang akan mengikrarkan kaul kekal sempat melaksanakan persiapan di sini dengan triduum. Salah satu pesan yang kami sampaikan pada para suster itu adalah supaya siap mengambil tanggung jawab dalam hidup tarekat. Seorang yang sedang berkaul sementara, adalah orang-orang yang masih sangat muda tidak hanya dalam usia, tapi juga dalam hidup religius. Maka para suster-bruder yang sedang berkaul sementara tidak perlu menjadi pemimpin karena belum siap. Dan karena belum memimpin tidak perlu memikul tanggung jawab yang berat. Tapi seorang yang berkaul kekal ia menjadi anggota paling potensial dalam tarekat. Tiap religius yg berkaul kekal harus siap terlibat penuh dalam tarekat dan kalau perlu memimpin tarekat. Tapi harus kita ingat bahwa pimpinan dalam hidup religius dan dalam hidup gereja bukanlah orang yang berkuasa apalagi main kuasa. Melainkan seorang yang siap melayani dan berkorban demi kepemimpinan itu. Dalam hal ini para suster CB mempunyai contoh yang paling jelas dalam diri St. Carolus Borromeus yang pestanya sebentar lagi kita rayakan.

Apa yang beliau lakukan sebelum ia melasanakan tugas sebagai uskup agung di Milano, keuskupan agung yang sangat besar itu. Walaupun ia sudah seorang doktor di bidang hukum, baik hukum sipil maupun hukum gereja ia menggunakan waktu berlama-lama untuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas sebagai uskup agung. Ia kembali membaca Kitab Suci, mempelajari Kitab Suci sebagai landasan hidup kristiani. Ia membaca sejarah bapa-bapa gereja, membaca sejarah gereja. Ia membaca kembali semua keputusan-keputusan gereja selama berabad-abad sebelumnya dan terakhir ia mempelajari keputusan-keputusan konsili Trente yang baru saja selesai waktu itu. Dan ia mengawali karya sebagai uskup agung dengan semboyan humilitas artinya kerendahan hati. Dengan kata lain ada dua hal penting kalau kita masuk dalam kalangan pemimpin.

Seorang religius yg berkaul kekal masuk dalam kalangan pemimpin dalam tarekat, entah dalam bentuk apapun dan dalam tingkat manapun. Syarat pertama adalah pembekalan diri untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan. Kita tidak boleh meniru banyak orang di negara kita akhir-akhir ini, yang melihat kepemimpinan sebagai sumber kekuasaan dan kekuasaan sebagai sumber kekayaan. Kepemimpinan dalam hidup religius, kepemimpinan dalam hidup gereja mempunyai semangat dan warna yang lain sama sekali. Seorang pemimpin dalam gereja dan dalam hidup religius adalah orang yg pertama-tama bersedia memikul tanggung jawab, menjadi pelayan bagi yang dipimpin, dan bukan sumber kekayaan apalagi sumber keuangan. Jadi syarat pertama adalah pembekalan diri dan pembekalan diri ini tdk pernah selesai karena setiap tugas kepemimpinan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang selalu baru, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan selalu ada tantangan baru dengan bekal yang sudah ada. Kita selalu akan merasa kurang bekal dan itu justru pemimpin yang baik. Pemimpin yang sudah merasa siap segalanya dan tidak perlu belajar apa-apa lagi adalah seorang pemimpin yang merasa tahu tetapi tidak tahu. Orang yang sok rumongso. Pembekalan yang terus menerus. Kemudian yang kedua adalah humilitas, semboyan uskup agung Milan itu. Kerendahan hati. Semakin banyak orang mempunyai bekal, harus juga semakin rendah hati, baru ia menjadi pemimpin yang baik. Ibarat padi yang semakin bernas, semakin merundukkan diri. Padi yg kosong akan tegak berdiri, seolah-olah paling hebat tapi sebetulnya tidak punya apa-apa. Seorang pemimpin yg sejati adalah pemimpin yang rendah hati walaupun mempunyai segudang pengalaman dan pengetahuan untuk memimpin.

Kemudian kita lihat diri St. Carolus Boromeus, setelah ia betul-betul melaksanakan tugas sebagai pemimpin di keuskupan raksasa seperti itu. Keuskupan agung Milan itu keuskupan raksasa, keuskupan agung semarang bukan apa-apanya dibandingkan dengan keuskupan agung Milan. Keuskupan Milan mempunyai umat sekitar 600.000, imamnya lebih dari 4000, religiusnya lebih dari 3000. Dalam satu keuskupan, beliau membawahi beberapa uskup. Dan apa yang beliau lakukan? Yang pertama ialah konsistensi. Dia adalah seorang reformator, seorang tokoh reformasi. Dengan senjata konsili Trente yang baru saja selesai, ia dengan penuh semangat ingin memperbaharui gereja. Dan seluruh lapisan gereja di keuskupannya diajak untuk menjadi baru. Ia mulai dengan yang paling strategis, imam-imam terutama imam-imam projo yang waktu itu sangat kurang pendidikannya, disiapkan dengan baik. Dan pada waktu itulah untuk pertama kali dalam sejarah didirikan tempat pendidikan calon imam yang namanya seminari itu. Carolus Boromeuslah yang pertama kali mendirikan seminari-seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi. Sebelumnya imam-imam itu disiapkan ala kadarnya. Tidak ada pendidikan yang khusus, maka itulah yang strategis yang beliau buat, harus didirikan di banyak tempat di keuskupannya seminari-seminari kecil, seminari-seminari menengah dan seminari-seminari tinggi.

Lapisan kedua: para religius. Ia mengajak semua religius untuk memperbaharui diri. Sayang waktu itu ada religius yg memang sudah kebangeten cara hidupnya. Religius yang mengaku diri miskin, nama religius itu religius miskin tetapi justru paling kaya. Mereka berdagang sutera. Religius berdagang sutera, hebat sekali toh. Dan karena kaya raya, tiap malam mengundang wanita-wanita cantik untuk pesta dan dansa dengan para biarawan-biarawan itu. Carolus Boromeus tidak tahan melihat hal seperti itu. Maka ia memerintahkan supaya tarekat itu bertobat. Dan karena tidak bertobat dibubarkan, betul dibubarkan karena tidak mau bertobat. Dan karena tidak terima dibubarkan, berusaha membunuh Carolus Boromeus. Beliau sampai terluka, untung tidak meninggal. Konsisten dengan tugas pembaharuan.

Lapisan ketiga adalah kaum intelektual awam. Beliau mendirikan tempat-tempat asrama utk mahasiswa-mahasiswi awam supaya disamping kuliah mereka mendapat pendidikan yang baik, tidak lontang-lantung di tempat kost yang tidak karuan melainkan dalam kolese-kolese, dimana mahasiswa-mahasiswi mendapat pembinaan kepribadian yang baik disamping studi di tempat kuliah. Lapisan dibawahnya lagi, mereka yang menderita, mereka yang miskin, mereka yang terlantar, para janda miskin, pemudi-pemudi yang hamil ditinggal cowoknya, janda-janda yang ditinggal suami, orang-orang gila, para pengemis dan gelandangan ditampung dalam rumah-rumah yang beliau dirikan. Dan untuk itu beliau mengorbankan penghasilan beliau sendiri sebagai seorang uskup agung maupun barang-barang gerejani yang dianggap tidak mutlak dijual untuk bisa mendirikan tempat-tempat penampungan orang-orang yang menderita. Dengan kata lain seorang reformator yang mempebaharui seluruh gereja dan untuk itu beliau tidak hanya rajin menemui umat, biarawan/wati dan iman, tetapi juga bermati raga, mau menderita supaya pembaharuan itu berhasil.

Mengapa siang ini saya mengajak berpikir mengenai pembaharuan? Kita tahu Sr Louisie, Sr Melanie sudah dipercaya menjadi pemimpin tarekat. Lima puluh tahun yang lalu siapa mikir wong Jowo bisa mempimpin sebuah tarekat internasional. Tahun depan kita akan merayakan 100 tahun orang Jawa pertama dibaptis di Sendang Sono. Jadi umur kekatholikan di Jawa ini baru sebentar, baru 100 tahun, dibandingkan 20 abad itu bukan apa-apa. Tetapi beberapa orang Indonesia sudah dipercaya memimpin tarekat internasional. Pesan apa yg mesti kita tarik dari situ? Sudah waktunya gereja di Asia termasuk di Indonesia mau mengambil tanggung jawab kepemimpinan dan tidak mengelak hanya karena merasa terlalu muda. Tarekat di Eropa kebanyakan tidak punya calon lagi. Mengapa itu? Karena pemimpin di gereja Eropa terlambat melaksanakan reformasi. Maka gereja Indonesia tidak punya pilihan lagi kalau tidak mau mengalami kesalahan yang sama. Yaitu reformasi terus menerus.

Gereja Indonesia, tarekat kita masing-masing harus terus menerus memperbaharui diri, jangan sampai terlambat. Sebentar saja terlambat, kita tidak punya umat lagi, kita tidak punya calon religius lagi, kita tidak punya calon imam lagi. Maka jangan sampai kita terlambat dan untuk itu ada dua yang tadi sudah saya jelaskan. Pertama siap memimpin, memimpin dalam arti bertanggung jawab mau menerima beban, mau berkorban dan bukan untuk main kuasa apalagi untuk memperkaya diri. Dan yang kedua adalah reformasi secara konsisten, secara berani tidak terikat sepenuhnya pada masa lalu. Masa lalu yang baik dan tetap bisa dipertahankan, kita pertahankan; tetapi yang tidak bisa dipertahankan harus kita tinggalkan dengan rela. Dan berani mencari jalan-jalan baru dengan konsisten, dengan strategis. Ini kiranya yang dapat saya sampaikan untuk kelima pestawati dan para suster semua yang sudah berkaul kekal. Tentu saja tidak bermaksud menakut-nakuti yang akan kaul kekal sebentar lagi, tetapi saya ingin realistis. Kita butuh pemimpin-pemimpin dan itu hanya bisa diharapkan dari mereka yang sudah berkaul kekal. Amin.


Tinggalkan komentar

My Love story

Aku jatuh cinta pertama kali pada figur seorang suster hanya karena mendengar curhatan sahabatku. Usiaku waktu itu masih sekitar 13 tahun, kelas satu SMP. “Sr Corona itu seperti mamaku, menerimaku dan mendengarkan masalah-masalahku,” cerita sahabatku itu pada diriku. Aku tahu sahabatku ini berasal dari keluarga yang kurang harmonis karena dia sering curhat dan aku juga pernah main ke rumahnya. Dia sering merasa kesepian di rumahnya yang cukup besar. Sr. Corona adalah kepala sekolah kami yang tegas dan disegani murid-murid karena kedisiplinannya. Tapi dibalik ketegasannya itu tersimpan hati yang penuh keibuan, meski sebenarnya penilaianku ini hanya berdasarkan cerita dari sahabatku tadi. Aku berpikir,”Alangkah bahagianya menjadi suster karena bisa membantu banyak orang  yang sedang menghadapi masalah seperti sahabatku itu.” Sejak saat itu hatiku jatuh cinta pada figur seorang suster. Cinta pertama seorang remaja yang kagum pada figur yang menarik hatinya karena bisa menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Tapi cinta ini masih cinta monyet.

Aku termasuk orang yang cukup “misterius” kata teman-teman yang pernah memberiku masukan. Kata mereka, kalau belum kenal aku kelihatan pendiam (bukan jaim ya), tapi kalau sudah kenal ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Waktu itu aku cukup aktif di mudika wilayah maupun paroki sehingga mempunyai banyak teman. Cinta pertamaku sempat hilang dari hatiku karena ada cinta-cinta lain yang lebih menggoda hatiku. Meskipun begitu, keterpesonaanku terhadap figur seorang suster tidak bisa hilang dari hatiku. Setiap kali ada kegiatan aksi panggilan baik di wilayah (dengan kunjungan suster untuk sharing di lingkungan), maupun kegiatan di paroki hatiku selalu bergejolak. Perjumpaan dengan para suster dan mendengarkan cerita-cerita mereka membuat jantungku kembali berdegup seperti saat cinta pertamaku muncul. Akhirnya getaran cinta ini sudah tidak bisa kutahan lagi, tapi waktu itu aku bingung tidak tahu bagaimanan caranya masuk menjadi seorang suster.

Aku bercerita pada romo pembimbing mudika tentang keterpesonaanku terhadap figur suster ini. Lalu romo itu mengenalkanku pada suster CB yang ada di Solo Baru. Setelah perkenalan itu aku jadi sering bermain/ berkunjung ke susteran. Jarak rumahku ke susteran Solo Baru cukup jauh sehingga aku selalu diantar oleh teman dengan membonceng sepeda motor. Teman yang mengantar aku ke susteran selalu teman cowok. Agak aneh memang, mau masuk menjadi suster tapi selalu diantar oleh teman cowok ketika datang ke susteran. Saat itu sebenarnya terjadi pergulatan dalam diriku karena ada cinta lain yang cukup menggodaku. Di saat seperti ini, aku selalu bertanya pada Tuhan, jalan hidup manakah yang Dia kehendaki untuk diriku. Tempat ku berdialog dengan Tuhan adalah di gua Maria Mojosongo Solo. Setiap hari Kamis malam, biasanya jam 10 an aku ke gua Maria untuk berdoa. Anehnya, ketika ke gua Maria aku ditemani oleh teman yang membuat hatiku bimbang dengan pilihan hidupku. Saat untuk memilih yang tidak mudah. Bahkan ketika aku ke Postulat CB di Jogja untuk mengenal kehidupan calon suster CB, temanku ini juga yang mengantarku. Indah sekali, tapi juga membuat bimbang.

Setelah mengalami pergulatan batin dan berdialog dengan Tuhan, aku memutuskan untuk masuk biara. Ketika keputusan kuambil, ternyata jalan yang harus kulalui tidak mulus. Ibuku tidak memberiku restu karena beberapa alasan. Meski terlahir sebagai anak bungsu, tapi aku bukan anak yang manja. Ketika hatiku sudah bulat dengan keputusanku, aku minta bantuan pada kakak-kakakku. Mereka mendukung kerinduan hatiku ini. Waktu itu aku sudah bekerja. Aku memberanikan diri keluar dari tempat kerja dan tinggal selama 2 bulan sebagai aspiran (calon postulan) di Postulat CB di Jogja. Ketika harus menyerahkan surat rekomendasi dari orang tua, aku minta kakakku yang membuatkan rekomendasi ini. Meski tidak direstui oleh ibu, aku tetap nekat mencoba masuk Postulat (tempat pembinaan calon-calon suster CB).

Hidup bersama dan mengenal cara hidup para suster CB di Postulat ini semakin menguatkan getar-getar cintaku. Teman-teman yang akan masuk menjadi Postulat CB waktu itu cukup banyak (sekitar 28 an), sehingga sempat deg-degan juga kalau tidak diterima. Akhirnya dari sekian banyak, kami ber-16 orang yang diterima menjadi postulan (sebutan untuk calon suster CB). Tgl. 26 Juni 1995 adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Peralihan dari keramaian dunia menuju pada keheningan untuk memupuk benih-benih cinta pertamaku pada Dia. Dua puluh tiga tahun yang lalu, Tuhan menarik diriku untuk semakin dekat dengan Dia. Cinta pertamaku terus tumbuh dan berkembang, bukan lagi sebagai cinta monyet. Ketika masuk sebagai postulan kami ber-16 (enambelas), setelah berproses 1 (satu) tahun di Postulat kami tinggal ber-9 (Sembilan). Setelah 2 (dua) tahun menjalani masa pembinaan di Novisiat kami tinggal ber-5 (lima) mengikarkan kaul kami, hingga kaul kekal. Sampai sekarang kami masih berlima. Lima gadis bodoh yang dicintai Tuhan dan diberi rahmat kesetiaan untuk terus mengikuti panggilanNya.

Selamat pesta wafat bunda Elisabeth Gruyters pendiri Kongregasi suster-suster cintakasih St. Carolus Borromeus (26 Juni 2018) saudariku seperjalanan: Sr. Valentina CB, Sr. Aufrida CB, Sr. Hermana CB dan Sr. Oktaviani CB. Semoga semangat bunda Elisabeth selalu menjiwai dalam setiap karya dan kehadiran kita di mana pun.

Semoga nama Tuhan dimuliakan dan sesama diabdi dengan tulus iklhas. Amin.


2 Komentar

Untung cepat sadar…

Sudah lama tidak menulis di blog ini, jadi kangen menulis pengalaman-pengalamanku lagi. Cerita lama yang membuat tertawa sendiri mengingat pengalaman 4 tahun yang lalu ketika masih di negeri kincir angin di akhir bulan Januari 2013. Begini ceritanya:

Waktu itu kami pulang dari pertemuan di mana untuk kembali ke Maastricht harus ganti kereta sampai 5 kali. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, harus naik-turun kereta selama 4 kali dalam cuaca yang begitu dingin setelah turun salju, akhirnya sampailah di kereta terakhir yang membawa kami ke Maastricht. Aku pergi berdua dengan Sr. Ana. Ketika sampai di dalam kereta aku langsung duduk di tempat duduk yang kosong, tapi Sr. Ana belum dapat tempat duduk. Kebetulan waktu itu penumpangnya penuh sekali. Melihat ada tempat duduk yang bisa diduduki, spontan dia bilang ke salah satu penumpang,”Ini kan tempat duduk untuk bertiga, boleh saya duduk di sini.” Penumpang tersebut nampak bingung. Sr. Ana mengulangi lagi pertanyaannya, penumpang itu tambah bingung dan tidak memberikan tempat duduknya, lalu Sr. Ana masih mengulanginya ke penumpang yang lain. Akhirnya ada salah seorang ibu yang baik hati memberikan tempat duduknya lalu dia berdiri. Aku nggak enak melihat pemandangan ini, lalu kutawarkan tempat dudukku untuk ibu tersebut, tapi dia nggak mau. Penumpang yang pertama kali ditanya Sr. Ana, akhirnya meminta kepada ibu yang memberikan tempat duduknya untuk Sr. Ana supaya duduk disampingnya. Lalu perbincangan dalam bahasa Belanda diantara mereka pun dimulai. Ibu yang pertama kali ditanya Sr. Ana dengan wajah jengkel berkata,”Gimana sih, ini kan memang tempat duduk untuk 2 orang kok suster itu bilang untuk 3 orang? Atau karena ukurannya yang besar?” Ibu yang lain menjawab,”Ya, tentu saja ukurannya lebih besar dari yang lain, ini kan tempat untuk kelas 1.” Mendengar tentang ini aku baru sadar, bahwa kami duduk ditempat yang salah. Mungkin ibu-ibu itu tidak mengira kalau aku mengerti perbincangan mereka yang dalam bahasa Belanda. Sr. Ana masih merasa benar bahwa tempat duduk itu untuk bertiga, lalu aku datang ke tempatnya sambil berbisik,”Suster, saya malu, ibu-ibu itu membicarakan kita dan ternyata kita di tempat duduk yang salah, ini untuk kelas 1, sedangkan tiket kita kelas 2.” Ketika aku berbisik ke Sr. Ana, ternyata ada penumpang lain yang menempati tempat dudukku, aku senang karena ada kesempatan dan alasan meninggalkan gerbong ini. Lalu aku menuju ke gerbong berikutnya yang diperuntukkan untuk tiket kelas 2 dan ternyata masih ada satu tempat duduk yang kosong. Aku berharap bahwa tidak ada pengecekan tiket, karena betapa malunya kalau sampai ada pengecekan dan ternyata Sr. Ana salah tempat duduk di kelas 1. Sampai pada stasiun berikutnya, begitu ada penumpang di gerbong kelas 2 yang turun langsung kupanggil Sr. Ana untuk pindah tempat duduk. Tidak lama kemudian, di stasiun berikutnya datanglah petugas yang mengecek tiket. Waktu petugas datang, kebetulan ada 2 gadis yang salah masuk ke gerbong kelas 1, padahal tiketnya untuk kelas 2. Lalu kedua gadis itu duduk didepanku dan langsung ditegur oleh petugas tersebut,”Kamu pindah ke sini karena melihat saya mengecek ya? Tiketmu untuk kelas 2?” Melihat itu, dalam hati aku bersyukur bahwa kami sudah pindah ke tempat yang seharusnya. Betapa malunya kalau sampai ditegur oleh petugas dan dengan kejadian sebelumnya yang membuat beberapa penumpang yang bertiket kelas 1 agak jengkel. Untung…

Ketidaktahuan atau kesalahan bisa terjadi pada siapa saja yang kadang membuat orang lain lain jengkel. Oleh karena itu, kerendahan hati untuk menyadari kesalahan tersebut dan kemauan untuk berubah itu penting sehingga tidak merugikan orang lain dan mempermalukan diri sendiri. Meskipun memang ada saja orang yang sudah selalu merasa diri benar, sehingga tidak sadar kalau perbuatannya telah membuat resah atau mengorbankan sesamanya. Ini yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Semoga semakin banyak orang yang berani menyadari kesalahannya dan mau berubah menjadi lebih baik sehingga hidup bersama di negeri ini semakin indah.


Tinggalkan komentar

TITIK-TITIK TERANG DI TENGAH KEGELAPAN

Jesus-road_to_emmausTulisan ini merupakan refleksiku tahun yang lalu. Setiap kali membaca kembali refleksi ini, semangat dan harapanku dibangkitkan kembali. Paskah mengingatkanku akan pengalaman indah doa  ketika retret bimbingan pribadi di akhir tahun 2011. Ketika aku mengkontemplasikan tentang bahan dua murid Emaus (Lukas 24: 13-35), situasi Gereja di Nederland saat inilah yang muncul dalam doaku.  Aku  mengalami Yesus saat ini juga baru disalibkan oleh para imam-imam kepala dengan kasus-kasus misbruikt (pelecehan seksual/ kekerasan) yang dilakukan oleh para imam/ religius di masa lampau dan mulai diangkat kasusnya sekarang ini, sehingga membuat umat mulai kurang percaya kepada Gereja. Kebijakan-kebijakan baru dalam pemerintah yang meniadakan pelajaran agama di sekolah, mengakibatkan anak-anak tidak mengenal iman dan Gereja. Banyak gedung-gedung Gereja mulai ditutup karena semakin berkurangnya umat yang datang ke Gereja dan tingginya beaya perawatan gedung Gereja. Kebebasan yang diberikan oleh Gereja beberapa dekade yang lalu telah membawa perubahan besar dalam Gereja, baik bagi umat maupun dalam kehidupan para religius. Saat ini sepertinya Tuhan wafat, Gereja di sini seakan ‘mati’. Sedih rasanya mengalami situasi Gereja yang gelap yang seperti ini.

Lalu dalam renunganku Tuhan membawaku pada situasi awal berdirinya kongregasi kami di th 1837. Situasi Gereja pada waktu itupun tak jauh beda dengan situasi Gereja sekarang ini. Ketika itu Gereja juga seakan ‘mati’. Gereja-gereja dilarang mengadakan ibadat dan biara-biara ditutup. Hidup membiara menjadi sesuatu yang langka di kota Maastricht, maka kerinduan Bunda Elisabeth waktu itu “ jika sekiranya berkenan kepada Tuhan, aku mohon agar di sini di kota Maastricht ini, didirikan sebuah biara, di mana Tuhan akan diabdi dengan setia…” (EG.5). Perkembangan selanjutnya, ada masa-masa di mana Gereja sungguh bangkit dan berkembang pesat. Ada masa di mana begitu banyak umat mulai ke Gereja lagi dan biara-biara baru mulai didirikan. Ada saat di mana anggota Kongregasi CB lebih dari 1000 suster (hanya dari Nederland saja). Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan Gereja pada masa itu. Kehidupan Gereja pun berputar seperti roda, ada saatnya di atas, ada saatnya di bawah, tetapi yang terpenting adalah Tuhan tidak pernah meninggalkan Gereja dan membiarkannya ‘mati’. Pada saatnya, Ia selalu membawa kebangkitan dan kehidupan baru.

Dalam situasi yang gelap ini, Tuhan mengajakku untuk melihat pengalamanku selama 4,5 th dalam memulai komunitas baru di sini. Aku melihat kebangkitan-kebangkitan baru dalam Gereja, meskipun itu masih dalam kelompok-kelompok kecil. Kegiatan-kegiatan untuk anak-anak dan kaum muda yang mulai hidup dan tumbuh. Contohnya adalah pewartaan tentang kabar gembira Tuhan yang dimasukkan melalui kegiatan camping musim panas cukup efektif untuk mengenalkan kembali kehidupan Gereja kepada anak-anak dan kaum muda. Tuhan mengajakku untuk melihat bagaimana komunitas kami juga ikut terlibat dalam mewartakan kebangkitanNya dalam situasi Gereja di Nederland saat ini. Kelompok koor bersama para mahasiswa yang kami bentuk untuk memeriahkan misa Bahasa Inggris, membuat suasana baru dalam Ekaristi. Kehadiran kami dalam setiap kegiatan dengan anak-anak dan kaum muda di Keuskupan, dalam setiap peristiwa dan perjumpaan dengan sesama di sini juga membawa kehidupan baru dan suka cita. Hatiku berkobar-kobar ketika diajak melihat kembali pengalaman-pengalamanku di sini yang penuh pergulatan, tetapi disitu aku menemukan Tuhan yang berkarya setiap saat. Aku sadar bahwa Tuhan sendiri telah menyertai dan menunjukkan kepadaku bahwa Dia hidup, Gereja di sini tidak akan mati.

Tuhan menunjukkan padaku kabar kebangkitan yang diwartakan melalui kelompok-kelompok kecil di sini, seperti yang terjadi pada saat pertama kali pewartaan ketika Yesus bangkit. Kabar kebangkitan Yesus tidak dialami secara serentak oleh banyak orang, tetapi pada awalnya melalui beberapa orang murid saja. Tapi dari sejarah Gereja yang ada, pewartaan kebangkitan Tuhan dari beberapa murid ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia. KebangkitanNya membawa sukacita dan kehidupan baru bagi dunia. Saat ini situasi Gereja di Nederland memang sedang gelap, seperti situasi beberapa hari setelah Yesus disalibkan. Dari pengalaman doa ini, Tuhan memberi harapan kepadaku bahwa warta kebangkitanNya akan dirasakan banyak orang meski itu masih butuh proses yang sangat panjang untuk situasi Gereja di Nederland/ Eropa saat ini. Tuhan mengutusku untuk menjadi seperti sekelompok orang/ para murid pertama yang mengalami kebangkitan Tuhan dan mewartakanNya sesuai dengan perutusanku saat ini. Dia sendiri yang datang membawa titik-titik terang, harapan-harapan dan kehidupan baru di tengah kegelapan yang ada. Kebangkitan-kebangkitan yang telah dialami dan dimulai dalam kelompok-kelompok kecil, pada saatnya nanti akan berpengaruh dan mengubah kehidupan Gereja di sini. Aku percaya bahwa Dia tidak akan membiarkan GerejaNya di sini mati.


2 Komentar

ANGKLUNG… MUDAH DIPELAJARI & MENARIK ORANG ASING

          Musik dan tari-tarian adalah cara yang mudah untuk mengenalkan negara asal dan menjalin kontak dengan masyarakat setempat. Selama lebih dari 4 th tugas di Belanda, musik angklung dan tari-tarian menjadi sarana bagiku untuk menjalin kontak dengan anak-anak dan kaum muda di sini. Mereka senang kuajari “Poco-Poco”, tari “Badindin” dan bermain musik “Angklung”. Bahkan kami mendapat permintaan untuk memberikan ‘workshop Angklung’ untuk beberapa kelompok. Biasanya kalau kami memberikan ‘workshop Angklung’ ini per kelompok sekitar 8 s/d 25 orang, selama 20-30 menit. Selama 20-30 menit ini kami menjelaskan apa itu musik angklung, asalnya dari mana, dibuat dari apa, dsb nya; lalu kami mengajarkan bagaimana cara memegang dan memainkan musik angklung ini; setelah itu kami praktek dengan beberapa lagu. Ternyata anak-anak di Belanda cepat untuk mempelajari dan mempraktekkan musik angklung ini. Mereka senang dan antusias untuk belajar memainkan angklung. Lihatlah wajah-wajah gembira dan serius mereka waktu belajar dan memainkan angklung ini:

Angklung Bamboe workshop in Landgraaf. from Hedwig on Vimeo.

youth camp from Hedwig on Vimeo.

Angklung Bamboe instrument from Hedwig on Vimeo.


4 Komentar

LUCUNYA ANAK-ANAK BELANDA MENARI TARIAN SUMATRA

          Setiap tahun pada musim panas di Keuskupan Roermond, Belanda diadakan camping rohani. Bulan Juli 2012 aku ikut menjadi pendamping camping rohani ini.  Tugasku waktu itu: mendampingi anak-anak dalam kelompok, seksi liturgi, tapi juga untuk seksi olah raga dan mengajari menari anak-anak. Tarian ini dimaksudkan untuk ucapan terima kasih terhadap orang tua yang akan menjemput mereka pada hari terakhir camping (acara camping selama 5 hari). Waktu panitia minta aku untuk mengajari anak-anak tarian Indonesia sebagai ucapan terima kasih untuk orang tua, bingung juga mau diajari tari apa. Syukurlah akhirnya menemukan tari Badindin ini dengan sedikit dikreasi sendiri. Anak-anak tidak terlalu sulit untuk mempelajarinya dan orang tua yang melihatnya juga senang. Lihatlah betapa lucunya mereka:


6 Komentar

KESETIAAN SEORANG IBU & ISTRI

           CIMG6600Tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya tgl 10 Januari 1983, bapak dipanggil Tuhan dengan mendadak karena kecelakaan. Saat itu usiaku baru 10 tahun, ke dua kakakku masih sekolah di STM dan SMEA. Kakakku yang sulung sudah bekerja di pelayaran. Ibuku waktu itu masih berusia 40 th. Kepergian bapak membuka babak baru dalam kehidupan keluarga kami.

          Mengenang kembali wafatnya bapak, berarti mengingatkan juga akan kesetiaan seorang ibu dan istri, yang kumaksud adalah ibuku. Ketika Bapak meninggal, ibu masih tergolong muda dan harus menanggung biaya 3 anak yang masih sekolah dengan penghasilan yang tidak tetap. Beruntung bahwa kakak sulungku sudah bekerja, jadi bisa sedikit meringankan beban ibu, yang setiap hari berjualan nasi pecel untuk mempertahankan hidup kami. Sejak bapak meninggal, ibu tidak mau menikah lagi. Padahal kalau mau, bisa saja beliau menikah lagi. Kata orang, waktu masih mudanya, ibu adalah “bunga desa”. Tapi ibu tidak mau menikah lagi dengan alasan karena punya dua anak perempuan. Ibu tidak ingin ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi pada kedua anak perempuannya kalau beliau menikah lagi. Belum tentu bapak yang baru akan tulus mencintai kedua putrinya.

          Ibuku adalah orang yang sederhana, tidak bisa baca-tulis tapi sungguh pandai dalam mengelola rumah tangga dan mendampingi putra-putrinya. Beliau adalah seorang wanita yang kuat dan tangguh. Kepergian seorang bapak tentu berpengaruh terhadap perkembangan psikologi kami. Kakak yang masih belajar di STM waktu itu seperti kehilangan pegangan hidup. Dia sering bolos sekolah dan tidak semangat belajar di sekolah, tentu beban ini tidaklah mudah untuk ibuku. Beliau berusaha agar kami tetap bisa belajar dan mengenyam pendidikan di sekolah dengan baik. Beliau tidak bisa membekali kami dengan harta benda, tetapi ingin membekali kami dengan ilmu yang bisa untuk menjadi bekal masa depan kami.

         Kesetiaan sebagai seorang ibu dan istri sungguh diperjuangkan dan diwujudkan dalam mendampingi kami. Dalam lingkungan hidup yang keras, beliau berusaha menjaga kami dan menanamkan nilai-nilai hidup yang baik. Dalam keluarga kami, masing-masing mendapat tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah sesuai dengan kemampuannya. Masing-masing mempunyai peran untuk bersama-sama menanggung kesulitan yang ada. Sejak kami masih kecil, kami selalu diajarkan untuk “hidup prihatin”. “Hidup prihatin” dalam arti berpuasa, belajar mengendalikan diri dengan laku tapa ini. Sebelum menganut agama Katolik, ibuku adalah penganut kebatinan/ kejawen. Beliau sangat kuat dalam hal laku tapa dan doa, dan ini yang diajarkan pada kami. Aku masih ingat, setiap jam 12 malam ibu selalu doa di halaman rumah menghadap arah terbitnya matahari dan aku yang masih kecil sering duduk menunggu di belakangnya.

           Pengalaman rohani yang diajarkan ibu ini membuatku semakin mengalami pengalaman bahwa Allah sendirilah yang menjadi Bapa kami. Setiap saat akan membayar uang sekolah dan uang untuk membayar belum ada, ibu selalu mengajak untuk sembahyang dan selalu saja ada rejeki yang datang tepat pada waktunya. Ketika kami sedang test atau ujian, ibu selalu ekstra doa atau berpuasa untuk keberhasilan kami. Bersama Tuhan, ibu turut membentuk kami menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan. Sungguh bekal hidup yang sangat bernilai yang telah ibu berikan pada kami.

             Tidak terasa sudah tiga puluh tahun, bapak meninggalkan kami. Mengenang kepergian bapak, berarti mengenang kesetiaan ibuku sebagai seorang ibu dan istri. Aku hanya bisa bersyukur mengingat semua ini. Bekal nilai-nilai hidup dan ilmu yang diberikan orang tua pada anak-anaknya, sungguh lebih berharga daripada bekal harta benda yang akan cepat habis. Kesetiaan ibu menjadi teladan bagiku untuk setia dalam panggilan hidupku saat ini. Terima kasih Tuhan atas anugerah kehidupan dan dasar-dasar baik yang telah ditanamkan oleh kedua orang tuaku yang menjadi bekal hidupku saat ini. Amin.

Maastricht, 7 Januari 2013


2 Komentar

BERAKSI DENGAN POCO-POCO DANCE DI SIMPELVELD, BELANDA

            Satu setengah tahun yang lalu (2011) waktu mendampingi camping rohani untuk remaja di Keuskupan Roermond, aku diminta untuk mengajari anak-anak remaja yang mengikuti camping ini tarian Indonesia sebagai ucapan terima kasih pada orang tua di akhir camping. Salah satu panitia tahu bahwa aku bisa Poco-poco, maka jadilah ucapan terima kasih pada orang tua dengan Poco-poco dance. Lumayan juga mendapat kesempatan ini untuk mewartakan budaya Indonesia di negeri bekas penjajah Indonesia…
Lihatlah aksi mereka:

Poco-poco